Gladhen Jemparingan Mataraman
Tulisan : Ir KMT H Prajaprawiraputra APU (Ir H Ngadi Prawiraputra APU)
I. Pendahuluan
Di Jawa, orang banyak tahu tentang 'panah atau jemparing' karena mendengar ceritera sejarah atau membaca buku-buku cerita Mahabharata, dan melihat pagelaran wayang kulit Perang Bharata Yudha, bahwa 'Panah' adalah 'alat', sebagai senjata pusaka para Raja, Senapati, dan Satriya untuk bela-diri dan perang.
KRT. H. Jatiningrat SH. (2014), di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, sejak zaman dahulu dalam Budaya Mataraman ada Jemparingan atau Panahan yang masih lestari disukai banyak orang untuk : kesenangan, silaturahmi, olahraga ringan, melalui Gladhen Jemparingan Mataraman.
Masa kini, Jemparingan Mataraman sebagai Ajaran Moral, dikenal merupakan Budaya warisan Suwargi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Sepisan, sebagai Pemilik dan Pendiri Kerajaan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat.Dan sekarang Jemparingan Mataraman sudah dikembangkan menjadi Cabang Olah Raga Panahan ‘PERPANI’ (Persatuan Panahan Indonesia) yang diperlombakan. Bahkan Indonesia pernah berhasil meraih Juwara Pertama Tunggal Putri Panahan Dunia tahun 2016.Dampaknya langsung dapat meningkatkan usaha ekonomi rakyat, antara lain : Industri / pengrajin rumah-tangga Jemparing semakin banyak memproduksi ‘panah‘ dan ‘aneka gendewa‘ sebagai barang dagangan laris..
II. Jemparingan Mataraman
‘Jemparing Mataraman‘ merupakan ‘Ajaran moral‘ dasar filosofi Pamenthanging Gendhewa – Pemanthenging Cipta’. diciptakan oleh RM Sujana (Pangeran Mangkubumi), hakekatnya merupakan implementasi Ajaran leluhur Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma: “Mangasah Mingising Budi – Memasuh Malaning Bumi – Hamemayu Hayuning Bawana‘ yang bersifat universal, guna membentuk watak Satriya.Karena diyakini bahwa: orang yang berwatak Satriya itulah yang mampu melaksanakan Hamemayu Hayuning BawanaDengan demikian ‘Gladhi Jemparingan Mataraman‘ yakni mengajak melatih diri-sendiri menjadi pribadi yang pandai, cerdasmengolah dimensi batin dan rasa, sehingga peka (lantip) perasaannya dan mampu membaca fenomena, bersikap Nyawiji – greget – sengguh – ora mingkuh, memiliki cita-cita idealisme, komitmen yang tinggi, integritas moral dan nurani yang bersih, yang mahir memanah dan titis mengenai sasaran.